Senin, 11 April 2011

Film Based on Novel

Dunia hiburan, saat ini merupakan menjadi bagian penting dalam kehidupan manusia. Manusia yang tak lepas dari segala problematikanya yang membutuhkan solusi yang tepat maupun sesuatu untuk membantunya ‘melarikan diri’ dari masalahnya. Salah satu penghiburan yang digemari masyarakat saat ini ialah film. Film merupakan gambar bergerak, biasanya plot cerita yang ada dalam film dibuat ‘naik turun’ agar para penontonnya merasakan klimaks dan akhir yang tak terduga dalam menonton setiap adegannnya. Bagian inilah yang biasanya disukai masyarakat untuk membantunya membuang kepenatan. Maka tak heran saat ini film menempati tempat tersendiri dihati masyarakat. Di Indonesia sendiri dunia perfilman memiliki tempat khusus. Belakangan ini banyak bioskop yang dibangun dan jumlah penonton yang hadir pun tidak sedikit. Biasanya film yang yang merajai top chart di bioskop adalah film-film Hollywood. Namun tidak demikian sejak satu decade belakangan ini, film Indonesia mulai menunjukan eksistensinya. Keadaan ini dimulai sejak meledakya film Petualangan Sherina dan Ada Apa Dengan Cinta garapan Mira Lesama-Riri Reza. Kehidupan dunia perfilman kita yang tadinya ‘mati suri’ mulai mengelora kembali. Sekarang bila kita pergi ke bioskop maupun ketempat penyewaan DVD/VCD, kita tidak lagi hanya disuguhi oleh film-film Hollywood maupun film-film dari kawasan Asia Timur saja. Sudah banyak pilihan film Indonesia yang layak ditonton. Suatu kebanggaan yang perlu kita diapresiasi dengan baik sebagai rakyat Indonesia yang mencintai produknya sendiri.
Namun, dalam suatu kenyataan pastilah tak semuanya selalu berjalan dengan mulus. Ini pulalah yang dialami oleh dunia perfilman Indonesia. Seiring menggeloranya dunia perfilman, terjadi kestagnannan genre film yang digarap para sineas kita dalam berkarya. Hampir dapat dipastikan film-film yang beredar saat ini merupakan film horor dengan bumbu seks yang cukup dominant didalamnya maupun genre komedi yang lagi-lagi dibumbui adegan ‘panas’ tersebut. Sungguh disayangkan para sineas kita membuat film yang hanya untuk pemenuhan kursi penonton belaka. Biasanya kursi penonton tersebut berisi kaum adam, sehingga tak heran banyak film yang ditayangkan untuk pemuas dahaga para pria. Film-film tersebut tidak didasari idealisme tertentu dalam pembuatan filmnya. Sehingga film Indonesia terkesan murahan dan selalu ujung-ujungnya seks. Hal ini menjadikan para penonton Indonesia tidak merasa bangga setelah menonton filmnya, melainkan malu dan jijik, khususnya bagi kaum hawa. Memang adapula film-film yang penulis rasa memililki rasa idealis tinggi dan berkualitas. Karya-karya Mira Lesmana-Riri Reza, Hanung Bramantyo dan Nia Dinata merupakan karya yang menurut penulis layak untuk ditonton. Lagipula, karya mereka sangat inovatif dari segi cerita maupun pengambilan gambarnya. Namun sekali lagi memang tak dapat hanya menyalahkan satu atau lain pihak. Karena pada dasarnya produser membuat film untuk menghasilkan pendapatan yang menguntungkan, sehingga banyak produser film yang tidak mau ‘berani mati’ dalam memproduksi film idealis, karena selain biaya produksi yang tinggi, tidak ada jaminan bahwa film tersebut akan laris dipasaran.
Kenyataan pahit pun dialami dunia perfilman kita saat terjadinya insiden pengembalian piala Citra kepada pihak FFI. Pengembalian itu dilakukan sebagai bentuk protes para sineas ‘muda’ yang cenderung idealis, terhadap hasil penjurian yang dilakukan para sineas ‘tua’. Para sineas muda ini tidak sejalan terhadap hasil penjurian, yang menyerahkan kategori film terbaik kepada film Eskul garapan Nayato Fio Nuala. Film tersebut dianggap tidak memenuhi kredibilitas sebagai film terbaik, karena jalan ceritanya dianggap mengadaptasi dari film lain dan dari segi pengambilan gambar dirasa terlalu biasa. Kenyataan pahit ini memang sungguh mencoreng nama FFI sebagai komunitas tertinggi perfilman Indonesia, tetapi inilah yang justru membangkitkan semangat perubahan untuk menuju hal yang lebih baik. Sejak saat itu film-film yang mendapatkan anugerah dinilai cukup layak untuk mendapatkannya. Dari berbagai pengalaman inilah, baik pahit maupun manis, penulis berharap adanya perbaikan-perbaikan terhadap dunia perfilman kita.
Lain halnya dengan dunia sastra Indonesia, sejak dahulu dunia sastra kita terus berdenyut, banyak sastrawan-sastrawan kita yang menghasilkan karya yang berkualitas dan patut diacungi jempol. Dunia sastra pun memiliki andil besar dalam proses kemerdekaan negara kita. Banyak karya sastra yang dibuat untuk membakar semangat kaum muda bangsa ini agar tak mau dijajah, kisah pahit yang tercipta dari para sastrawan ini ialah pada akhirnya banyak dari mereka yang dijebloskan kepenjara karena dirasa terlalu vulgar dalam berkarya oleh para penjajah. Namun andil yang mereka berikan pada bangsa ini sungguh luar biasa. Demikan pula pada jaman Orde Baru, para sastrawan yang menentang pemerintahan, banyak yang merasakan hidup dibalik jeruji besi, sebut saja Arswendo Atmowiloto, beliau dijebloskan kepenjara karena sangat vulgar mengecam pemerintah, yang saat itu sangat mengedepakan KKN. Sungguh malang nasib para sastrawan kita yang berjuang untuk kehidupan rakyat yang lebih baik. Tetapi keadaan mulai menunjukkan perubahan sejak bergeloranya era reformasi. Kebebasan berbicara dan berkarya diagung-agungkan. Disinilah dimulainya jenis sastra pop menapakkan kakinya dalam dunia sastra Indonesia. Para sastrawan pop ini memulai adanya perubahan pakem-pakem dalam berkarya. Dee dan Djaenar Maesa Ayu merupakan sastrawan yang terkenal dalam masa ini. Begitu pula pengarang lainnya yang berkecimpung dalam karya-karya yang bertemakan Teenlit, Chicklit dan Fantasilit. Semuanya memiliki andil tersendiri dalam berkarya. Tak jarang karya yang mereka hasilkan menjadi best-seller diberbagai toko buku. Masyarakat kita mulai mencintai karya sastra buatan pengarang dalam negeri.
Pengindraan para petinggi rumah produksi film, sungguh sangat peka dalam mencium gelagat baik ini. Mereka berinisiatif mem-film-kan buku yang ada. Cukup banyak film Indonesia yang diangkat dari buku-buku laris, sebut saja Eiffel Iam in Love, Me vs High Heels, Dealova, Cintapucinno, Laskar Pelangi, Sang Pemimpi, Kambing Jantan, Ayat-Ayat Cinta, Ketika Cinta Bertasbih, Jakarta Undercover dan film lainnya. Kesamaan dari film-film tersebut ialah semuanya berangkat dari buku-buku yang laris dipasaran. Kecenderungan para produser film ini disatu sisi memang menguntungkan, namun disisi yang lain membuat kestagnannan para sineas dalam berkarya.
Film dan buku memang memiliki dua sisi yang berbeda, bagai sebuah koin yang sama. Penyatuan keduanya memang sangat mungkin terjadi, bahkan dapat menjadi pengisi kekosongan yang ada dalam tiap-tiap sisinya, tetapi masing-masing tetap memiliki karakteristik yang khas. Film-film Indonesia yang diangkat dari buku cukup banyak menuai apresiasi yang baik dari para penonton. Apalagi masyarakat kita belakangan ini telah mulai selektif dalam menonton film, film tidak hanya sekedar sebagai sarana hiburan, namun sedak mencapai level yang menginspirasi dan menyentuh jiwa. Tapi tak lantas dengan semakin cerdasnya masyarakat dalam memilih tontonan, maka film Indonesia sudah dikategorikan sebagai tontonan yang berkualitas. Karena penonton yang hanya ingin menikmati film dari segi menghiburannnya saja pun masih betebaran dimana-mana. Sehingga film yang mengedepankan hiburan saja pun masih banyak diproduksi.
Kenyataan yang telah penulis paparkan diatas, menggelitik penulis untuk mengupas berbagai problematika yang timbul dari perpaduan buku dan film. Dengan berbedanya cara penyampaian dan medianya tentu saja menghasilkan perbedaan pula dalam hasil karyanya. Penulis akan mengalisis problematika yang ada dengan mengkelompokkannya menjadi beberapa bagian, kemudian memaparkannya secara kritik sosial. Dalam pembahasannya penulis hanya akan mendeskripsikan tiga film, karena ketiganya dirasa penulis sudah cukup mewakili. Ketiga film tersebut ialah Dealova, Cintapucinno dan Laskar Pelangi. Pemilihan film-film ini karena ketiganya mewakili usia penontonnya. Dari yang remaja, dewasa dan yang mencakup semua usia. Dilatarbelakangi pula ketiganya memiliki latar belakang yang sama, yakni pengarangnya masih sangat awam di dunia sastra Indonesia. Buku-buku tersebut merupakan karya pertama para pengarang tersebut dan langsung menjadi best seller dalam penjualannya. Sangat sulit menembus pasar sastra Indonesia, tapi ketiganya langsung menyedot perhatian saat kemunculan perdana mereka. Tak luput pula, ketiganya diterbitkan oleh tiga penerbitan yang berbeda dan ketiganya dikenal sebagai penerbitan yang menghasilkan karya-karya berkualitas dan telah memiliki nama. Inilah yang menggelitik penulis untuk membahasnya.

Buku Laris Jaminan Film Laris
Banyaknya film yang berangkat dari novel-novel laris mencerminkan bahwa karya sastra Indonesia telah mulai menjadi tuan dirumahnya sendiri, walaupun tak dapat dipungkiri banyak sekali karya-karya terjemahan yang menyedot animo masyarakat. Kenyataan ini dimulai dengan kesuksesan buku Dealova yang bergenre Teenlit (Teen Literatur). Buku tersebut dalam setahun sudah mengalami pencetakan ulang. Demikian pula Cintapucinno si pencetus genre Chick Literatur atau sering disingkat Chicklit pertama di Indonesia, memiliki respon yang sangat baik dari para pembacanya dan tak lupa Laskar Pelangi yang merupakan bacaan penggugah jiwa mengalami hal serupa.
Dealova yang diterbitkan pada tahun 2004 ini merupakan novel pertama dari Dyan Nuranindya dan langsung menjadi best seller. Menceritakan seorang gadis tomboy Karra (dalam filmnya diperankan oleh Jessica Iskandar) yang memiliki kisah cinta segitiga yang unik antara dirinya dan Dira (Ben Joshua) seorang cowok yang dingin namun jago bermain basket merupakan musuh bebuyutan Karra yang akhirnya menjadi kekasihnya juga Ibel (Evan Sanders) yang merupakan sahabat baik kakak Karra yang akhirnya pun menjadi kekasih Karra setelah kematian Dira. Kisah cinta inilah yang menjadi bahan utama Dyan Nuranindya dalam mendeskripsikan besarnya makna cinta. Film Dealova diproduksi pada tahun 2005 (setahun setelah novelnya terbit) dan disutradari oleh Dian Sasmita sedangkan penulis skenarionya ialah pengarang kawakan yang terkenal dengan karya larisnya Lupus, yakni Hilman Wijaya.
Demikian halnya dengan Cintapucinno yang masih tetap membahas percintaan segitiga namun dengan permasalahan yang lebih kompleks, karena merupakan kisah cinta yang dewasa. Diceritakan Rahmi (Sissy Pricillia) memiliki cinta yang tak terlupakan bahkan bisa dibilang menjadi obsesinya sejak masa SMA pada kakak kelasnya yang bernama Dimas Gerenimo atau biasa dipanggil Nimo (Miller), bahkan hingga ia akan menikah dengan Raka (Aditya Hervavi Rahman). Karena Nimo telah menjadi obsesinya, saat pemilihan jurusan di bangku perkuliahan, Rahmi memilih berkuliah ditempat dan jurusan yang sama dengan Nimo. Klimaks terjadi ketika Nimo datang disaat-saat Rahmi sedang mempersiapkan pernikahannya dengan Raka. Rahmi pun harus memilih diantara keduanya. Akhirnya Rahmi memilih Nimo, cowok yang menjadi obsesinya selama 10 tahun dari pada Raka yang kurang dari tiga bulan lagi akan dinikahinya. Film Cintapucinno sendiri disutradarai oleh Rudy Soedjarwo dan dirilis pada tahun 2007.
Berbeda dengan kedua film atau novel diatas, Andrea Hirata menampilkan cerita yang berbeda. Disini Hirata menyuguhkan pengalaman masa kecilnya di pulau Belitong. Buku yang diterbitkan pada tahun 2005 dan filmya sendiri dirilis pada tahun 2008 ini bercerita tentang kehidupan 10 anak dari keluarga miskin yang bersekolah dan belajar pada kelas yang sama dari kelas 1 SD sampai kelas 3 SMP Muhammadiyah di Belitung yang penuh dengan keterbatasan, mereka menyebut diri mereka sebagai Laskar Pelangi. Keterbatasan yang ada tidak membuat mereka putus asa, tetapi justru membuat mereka terpacu untuk dapat melakukan sesuatu yang lebih baik. Kebesaran hati mereka menerima keadaan, dan semangat untuk melakukan hal yang lebih baik inilah yang menggugah pembaca dan penonton untuk setia duduk dan menikmatinya. Filmnya sendiri digarap oleh Riri Reza yang terkenal dengan karya yang idealis dan berkualitas.
Berawal dari buku yang sukses dipasaran, maka dibuatlah film dengan cerita dan judul yang benar-benar sama. Karena para produser film menyadari bahwa dalam membuat film, seorang produser mengeluarkan uang yang sangat besar, dan para produser film pun menyadari jatuh bangun perusahaannnya tergantung pada berapa banyak keuntungan yang akan dia dapatkan dari film yang dibuat. Maka salah satu alternatif untuk menyiasatinya adalah dengan dipilihnya buku-buku best-seller, sebagai nilai tambah yang menjual. Karena diyakini bahwa judul dan isi ceritanya akan menarik begitu banyak orang hanya dengan mendengar judulnya saja, sehingga dapat sedikit menjamin akan keuntungan yang akan didapatnya.
Pada kenyataannya prediksi para produser film tersebut memang sebagian besar benar adanya. Film Cintapucinno dan Laskar Pelangi memiliki memiliki jumlah penonton yang tidak sedikit, bahkan Laskar Pelangi mencatatkan rekor sebagai film Indonesia yang paling banyak ditonton, dengan jumlah penonton yang mencapai 4,2 juta orang. Sungguh angka yang fantastis. Kesuksesan Laskar Pelangi didahului oleh film Ayat-Ayat Cinta garapan Hanung Bramantyo dengan jumlah penonton yang mencapai lebih dari 3 juta orang dan film ini pun berangkat dari buku laris karangan Habiburrahman El Shirazy. Semakin tertancaplah cap ‘buku laris jaminan film laris’.
Tetapi tidak demikian yang dialami oleh film Dealova, kepopuleran bukunya tak dapat mendongkrak jumlah penonton yang datang. Hal ini terjadi dikarenakan kurang apiknya sang sutradara dalam memvisualisasikan gambaran yang terekam dalam bukunya dan para pemainnya yang kurang mendalami peran. Sehingga film tersebut terasa hambar dan tidak menarik untuk ditonton. Padahal jalan cerita yang tersaji dalam bukunya sangat menarik. Saat membaca novelnya pembaca dapat menggambarkan segala perasaan sakit, cinta, senang dan kesedihan luar biasa yang dialami si tokoh, tetapi hal tersebut tak dapat dirasakan dalam filmnya. Bahkan, dalam berbagai ulasan resensi film, film Dealova mendapat tanggapan negatif.
Melihat dari kenyataan yang ada, ternyata tetap saja yang dilihat oleh penonton bagaimana sang sutradara mem-visualisasi-kan bukunya dalam film. Walau semenarik apapun cerita yang ada, tetapi bila dalam visualisasinya tak dapat disajikan dengan baik dan benar, maka film itu pun akan mendapat respon negatif. Sang sutradara memegang peranan penting dalam hal ini. Karena sutradaralah yang memilih pemain, latar, pencahayaan dan hal-hal yang mendasar lainnya dalam pembuatan film. Sehingga tak selamanya ‘buku laris jaminan film laris’
Mirip Tapi Tak Sama
Ada satu persamaan antara film dan buku, keduanya berkemampuan untuk menggambar suatu aksi, keduanya dapat menggambarkan realisme secara sungguh-sungguh, menyatakan kejadian-kejadian (baik kejadian lahir maupun batin). Keduanya menunjukkan karyanya pada penonton dan pembaca dan terlebih sama-sama mempengaruhi jiwa maupun emosi penikmatnya. Namun pada akhirnya hasilnya sangat berlainnya, karena proses literair sangat berbeda dengan filmis. Alat pernyataan buku adalah kata-kata bahasa sedangkan alat pencitraan film ialah gambar bergerak yang bersuara, dalam suara tersebut tentu saja terdapat kata. (P.A. van Gastel:1960)
Dalam penafsiran isinya buku dan film memililiki perbedaan yang mendasar. Pengarang menunjukkan kata-katanya pada kecerdasan manusia karena menuntut pembacanya untuk menafsirkan isinya dan menggambarkan sendiri penafsirannya terhadap tulisan tersebut. sedangkan dalam film membentuk gambarannya terlebih dahulu, barulah kemudian ditunjukkan kepada penonton, yang harus menerima perasaan yang ditimbulkan karenanya. Sehingga penafsiran pembaca ialah gambaran yang diciptakannya sendiri sedangkan penonton ialah perasaan yang ditimbulkan oleh film tersebut.
Persamaan dan perbedaan inilah yang diharapakan dapat mengisi kekosongan yang tersajikan dalam bukunya, agar para penonton dapat lebih mudah memahami jalan ceritanya. Tapi tak semua film dapat mengisi kekosongan bagian dalam buku tersebut, bahkan banyak pula yang justru membuat jalan ceritanya menjadi tidak jelas karena banyak pemotongan adegan ataupun para pemainnya yang tak mampu menampilkan ekspresi yang digambarkan pengarang dalam bukunya. Inilah yang menjadi titik lemah film yang berangkat dari buku.
Terlebih lagi film yang dibuat berdasarkan sebuah buku, menandakan bahwa sejak awal pembuatannya tidak dimaksudkan untuk dijadikan film dan dalam pengerjaan selanjutnya pengarang tidak sesaat pun memikirkan bentuk-bentuk spesifik dari film. Seorang pengarang buku tidak bekerja untuk membuat film, melainkan untuk membuat bahasa. Walaupun menghadirkan cerita yang sama tetapi hasilnya akan sangat berbeda. Bisa saja sang pengarang terlalu singkat dalam mendeskripsikan suatu suasana, karena dianggap para pembaca telah dapat menggambarkan suasana tersebut. Misalnya saja pengarang menuliskan cuaca siang yang sangat terik dan crowded, sutradara tentu saja kesulitan dalam mencitrakannya kedalam sebuah film. Seperti apa crowded yang dimaksudkan pengarang, apakah dijalanan yang macet atau di tempat umum yang terdapat banyak orang. Lain lagi halnya, bias saja pengarang mendeskripsikan kecantikan seorang wanita. Pengarang dapat memerlukan beberapa halaman tersendiri untuk menjelaskan betapa cantiknya wanita tersebut. Tetapi tidak demikian dengan sutradara, karena ia hanya membutuhkan beberapa menit untuk menampilkan wanita cantik yang diharapkan pengarang.
Bedanya media pencitraan inilah yang membedakan hasil akhirnya. Apalagi setiap orang memiliki perbedaan dalam menilai sesuatu. Bagaimana seorang pria dianggap tampan atau bagaimana bentuk cinta ditampilkan, tentu saja setiap orang memilki karakteristik tersendiri, kesulitan untuk menggabungkan berbagai macam persepsi inilah yang akhirnya menjadikan film tersebut tidak sesuai pengharapan penonton yang telah membaca bukunya terlebih dahulu. Berbeda dengan penonton yang belum pernah membaca bukunya, mereka datang untuk menonton tanpa adanya bayangan bagaimana jalan cerita maupun penokohannya.
Dalam memfilmkan sebuah buku ada baiknya sutradara membicarakan detail cerita dan gambaran apa yang dibayangkan pengarang dalam menulis bukunya. Sehingga terjadi sinkronisasi yang ideal antara film dan bukunya.

Penonton vs Pembaca
Animo masyarakat terhadap film dan buku memang berbeda.Ada yang lebih menikmati menonton film, ada pula yang lebih menikmati membaca buku. Selera yang berbeda ini membedakan penafsiran dan jumlah penikmatnya. Di Indonesia sendiri penikmat film jauh lebih banyak dari pada penikmat buku. Pada umumnya masyarakat lebih menikmati film dari pada bukunya, karena sebagian besar dari mereka berpendapat: waktu yang dibutuh untuk menonton film jauh lebih singkat, dalam penyampaiannya para penikmat film tidak perlu berfikir atau membayangkan adegannya lagi, karena telah digambarkan secara visual serta kebanyakan orang-orang sulit membayangkan adegan yang ada dibuku. Karena bahasa pengarang memiliki tingkat kesulitan masing-masing sesuai karakteristiknya.
Berbeda dengan penikmat buku, alasan-alasan yang dipaparkan mereka adalah dengan membaca saat penggambaran suatu kejadiannya, pembaca disuguhi kebebasan dalam membayangkan adegan-adegan yang ada, dengan berbagai detailnya sesuai keinginnya. Misalnya saja dalam bukunya dijelaskan bagaimana keindahan suatu daerah yang berada didekat pantai, maka pembacanya dalam dengan bebas mendeskripsikan keindahan daerah tersebut sesuai harapannya. Sehingga tak heran, banyak pembaca buku yang kecewa terhadap film yang diangkat dari buku karena pencitraan yang ditampilakan sutradaranya berbeda dengan pengharapan mereka terhadap bukunya.
Memang sulit membahasakan bahasa tulis kedalam sebuah gambar bergerak. Namun banyak sutradara yang justru merasa tertantang dalam penggarapannya. Ada yang berhasil, namun ada pula yang mengalami kegagalan. Animo masyarakat kebanyakkan lebih menyukai film, didasari pula dengan semakin canggihnya dunia teknologi, sehingga pencitraan gambarnya semakin sesuai dengan yang dibayangkan pembaca. Tak luput pula, dengan terus berputarnya perkembangan zaman, saat ini hal yang paling penting ialah ‘waktu’, sehingga membaca buku yang membutuhkan waktu lama kurang diminati. Banyaknya sutradara kita yang telah mampu menggarap sebuah film dengan sedemikian baiknya, sehingga orang-orang yang menonton jauh lebih paham isi ceritanya dengan menonton daripada membaca. Tak pelak lagi saat ini orang-orang lebih beralih menonton film, karena dianggap lebih mewakili perkembangan zaman, sangat mudah didapatkan dimanapun dan waktu yang dibutuhkan pun jauh lebih singkat.
Baik film maupun buku memiliki kelemahan dan kelebihan masing-masing, setiap orang pun memiliki selera tersendiri dalam menentukan pilihannya. Penulis rasa semuanya tergantung pada bagaimana seseorang menikmati suatu karya. Dengan keanekaragaman pilihan tentunya semakin memperkaya dunia seni kita, baik dalam bentuk sastra maupun film. Penonton maupun pembaca bisa saling memberikan solusi terhadap sebuah karya sehingga diharapkan dapat menghasilkan karya yang lebih baik lagi.

Menurunnya Daya Kreatifitas
Ada suatu kestagnanan dalam dunia perfilman kita, semakin banyaknya film yang diangkat dari buku maka semakin menekankan menurunnya daya kreatifitas para sineas kita dalam menghasilkan cerita yang orisinal dan menarik. Mereka tidak memiliki kepercayaan diri dalam mengembangkan plot cerita yang ada. Pilihan memfilmkan buku yang telah lebih dulu laris manis, dirasa lebih menggiurkan karena telah terbukti kepopulerannya. Sungguh disayangkan bila hal inilah yang mendasari pembuatan film-film kita, karena sebuah kreatifitas sangat dibutuhkan dalam membuat sebuah karya seni.
Indonesia memang telah memiliki deretan sastrawan yang berkualitas, namun hal ini belum diiringi secara seimbang dengan deretan sutradara handal. Faktor ‘baru bangunnya dari mati suri’ sangat mempengaruhi perkembangan perfilman Indonesia. Hal yang dialami oleh dunia perfilman tak dirasakan oleh dunia sastra kita. Walaupun memang dalam kenyataannya, dunia sastra kita pun tak selalu mengalami jalan yang mulus, tetapi setidaknya tak semengenaskan perfilman Indonesia, yang hingga mencapai tahap ‘tak ada film yang diproduksi’.
Kurangnya kekreatifitasan yang diharpakan muncul dari para sineas kita, memang secara tidak langsung dapat ditolong dengan menggunakan skrip cerita yang berasal dari buku, terlebih lagi buku tersebut sudah lebih dulu dikenal masyarakat. Hal ini memudahkan produser dalam mempromosikan filmnya. Ditambah lagi banyak sutradara yang hanya ingin sekedar mengembangkan sayapnya dalam dunia perfilman kita. Mereka hanya ingin sekedar dikenal tanpa adanya suatu visi yang melatarbelakanginya. Tetapi tak semua keadaan dilimpahkan kepada sutradara, karena dibalik itu semua ada produser yang lebih berkuasa dalam memutuskan film apa yang akan digarap. Bisa saja produser mengharapkan A sedangkan sutradara menginginkan B. Ketidaksinkronan ini biasanya selalu dimenangkan oleh produser, karena ialah sang pemberi dana. Tanpa dana, sutradara tak dapat berbuat apa-apa.
Miris sekali nasib dunia perfilman kita, hanya karena sekedar untuk mencari keuntungan belaka, masyarakat kita disajikan tontonan-tontonan yang biasa dan bahkan dibawah standar. Para produser sebisa mungkin mengeluarkan dana seminim-minimnya dan mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya. Tak dapat disalahkan sepenuhnya karena sudah jadi sifat dasar manusia dalam menerapkan prinsip ekonomi tersebut.
Alangkah baiknya bila produser dan sutradara saling mengungkapkan keinginan masing-masing, yang akhirnya akan menciptakan suatu keselarasan. Diharapkan keduanya memiliki suatu visi dan misi yang sama. Produser mau mengeluarkan dana bila sutradara dapat menyakinkan produser bagaimana prospek film tersebut. Sedangkan kewajiban bagi sutradara ialah sebisa mungkin menghasilkan film yang layak ditonton, sehingga penonton tak merasa kecewa maupun merasa rugi bila menonton filmnya. Penggabungan keduanya diharapkan dapat terjalin baik dan menghasilkan film berkualitas, seperti Laskar Pelangi. Riri Reza (sutradara) dan Mira Lesmana (produser) memiliki visi dan misi yang sama. Mereka tentu saja mengharapkan film-film mereka laris dipasaran. Lalu bagaimana agar film tersebut laris? Maka diusahakanlah menampilkan film yang berkualitas dan memiliki jalan cerita yang menarik.
Tetapi tidak demikian yang dialami oleh Film Dealova, penulis rasa hanya karena didorong ingin mendapatkan pendapatan yang besar sajalah maka film tersebut dibuat. Hasilnya? Kita dapat melihat film tersebut sangat jauh dari yang kita harapkan. Memang jalan ceritanya sangat sesuai dengan buku, namun dengan pemvisualisasian yang pas-pasan dan akting para pemainnya yang seperti tidak mendapat proses pendalaman karakter. Membuat film ini mendapatkan respon negatif dari berbagai pihak. Memang seringnya prinsip ekonomi bertolak belakang dengan sebuah kreatifiitas.

Kesimpulan
Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa tak selamanya film yang diangkat dari buku laris akan mengalami hal sama dengan bukunya. Semuanya kembali lagi bagaimana sutradara memvisualisasikan bahasa tulis kedalam bahasa gerak. Faktor produser film pun tak pelak memegang andil penting. Bisa saja sutradara ingin menampilakan film yang berkualitas dan sebisa miungkin sesuai dengan bukunya. Tetapi bila kenyataannya produser film tersebut tidak memberikan lampu hijau, maka hasilnya pun akan tetap sama saja. Maka tak selamanya buku laris menjamin filmnya akan laris juga.
Media penyampaianya film dan buku sangat berbeda. Film menggunakan bahasa gerak dan bersuara sedangkan buku menggunakan kata yang membentuk bahasa. Dari perbedaan media ini maka hal yang disampaikan pun turut berbeda. Film menyampaikan perasaan kepada penontonnya sedangkan buku menyampaikan gambaran. Padahal keduanya sama-sama menampilkan aksi atau adegan-adegan. Bagai sebuah koin yang sama, namun kedua sisinya sangat berlainnya. Satu tubuh tapi lain wajah. Perbedaannya inilah yang diharapkan dapat mengisi bagian-bagian yang kosong disetiap sisinya, karena penggabungkan keduanya merupakan inisiatif yang perlu diapresiasi.
Perbedaan persepsi antara pembaca dan penonton selalu mungkin terjadi. Karena keduanya memiliki media penyampaian yang berbeda. Ada yang lebih menggemari menonton film ada pula yang lebih suka membaca novelnya. Belakangan ini memang jumlah penikmat film jauh lebih banyak dibandingkan jumlah pembaca buku. Perkembangan zaman sangat mempengaruhi perubahan ini. Film dirasa jauh lebih praktis, tidak membuang waktu, dan lebih mudah dipahami apa yang ingin disampaikan sutradara dari ceritanya. Dalam membaca maupun menonton, tentu saja keduanya memiliki kenikmatan tersendiri. Tergantung bagaimana cara masing-masing orang dalam mengapresiasikannya. Kelebihan yang dimiliki film belum tentu dimiliki oleh buku, karena didalam film semua tergambar dengan jelas dengan penggamabaran yang detail. Sedangkan kelebihan dalam buku pun tak dapat ditemukan dalam film, misalnya ketika harus membayangkan sebuah daerah yang indah dengan latar belakang lautan biru, maka pembaca dengan menggunakan imajinasinya sendiri dapat mendeskripsikan daerah tersebut sesuai dengan keinginnya.
Dalam membuat film tentu saja membutuhkan banyak dana untuk mewujudkannya. Maka tak pelak lagi peran produser sangat besar dalam hal ini. Seringnya yang terjadi visi misi produser yang mengedepankan keuntungan besar tak sejalan dengan visi misi sutradara yang dianggap terlalu idealis. Tanpa adanya dana maka sebuah film tak dapat dibuat, jadi sebagaimanapun sutradara menjelaskan prospek sebuah film, bila sang produser tak memberikan lampu hijau maka, hasilnya akan sama saja, yakni film-film yang dibuat hanya untuk pemuasan kebutuhan penonton. Dibutuhkan sebuah kesinkronisasian antara sutradara dan produser agar jalan cerita yang diambil dari buku laris tersebut dapat menghasilkan sesuai dengan yang diharapakan keduanya. Tak mudah memang, namun disinilah diharapkan adanya penyatuan visi dan misi tersebut agar dunia perfilman kita semakin maju dan dapat mendidik bangsa.
Terlepas dari segala macam kekurangan dan kelebihan yang telah penulis paparkan diatas, yang harus kita tekankan disini adalah mari kita cintai produk dalam negeri. Siapa lagi yang akan menonton film kita, apalagi film tersebut diangkat dari buku laris karya pengarang dalam negeri kita juga, bila bukan kita sendiri. Mari kita galangkan semboyan cintai produk dalam negeri, kemana pun kita pergi dan apapun yang kita akan kita konsumsi. Melalui film garapan dalam negeri, kita sebagai bangsa yang besar sudah selayaknya menjadi bangga akan karenanya. Diharapkan kerjasama yang baik pula dari rumah produksi dan sutradara untuk menghasilkan film yang berkualitas. Agar bila kita keluar dari pintu bioskop, kita sedikit menegakkan badan kita dan bangga akannya. Bangsa yang besar adalah bangsa yang bangga terhadap negerinya sendiri.


Daftar Pustaka
Gastel, van P.A. 1960. Resensi Film. Jakarta: Jajasan Prapanca Djakarta
Nuranindya, Dyan. 2004. Dealova. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama
Rahmanti, Icha. 2004. Cintapucinno. Jakarta: Gagasmedia
Hirata, Andrea. 2005. Laskar Pelangi. Jakarta: Bentang Pustaka

Daftar Laman
http://cintapuccino.blogspot.com/
http://id.shvoong.com/entertainment/movies/2075230-cintapucinno/
http://id.wikipedia.org/wiki/Laskar_Pelangi
http://id.wikipedia.org/wiki/Dealova
http://books.google.co.id/books?id=9mIhvxShVGAC&pg=PA5&lpg=PA5&dq=dealova+novel&source=bl&ots=vRf4e8mVK6&sig=GO5xwr4jixhfF9blRkM1AYnaW28&hl=id&ei=SnugTebiHMnNrQeLx8mNAw&sa=X&oi=book_result&ct=result&resnum=2&ved=0CCEQ6AEwAQ#v=onepage&q=dealova%20novel&f=false

Referensi Film
Cintapucinno. 2007. Sutradara: Rudy Soedjarwo. Produser: SinemArt Pictures. Pemain: Sissy Pricillia, Miller, Aditya Hervavi Rahman dll. SinemArt Pictures.
Dealova. 2005. Sutradara: Dian Sasmita. Produser: Flix Pictures. Pemain: Jessica Iskandar, Ben Joshua, Evan Sanders, Dimas Seto dll. Flix Pictures
Laskar Pelangi. 2008. Sutradara: Riri Reza. Produser: Mira Lesmana. Pemain: Cut Mini, Ikra Negara, Matias Muchus, Tora Sudiro, Jajang C. Noer dll. Miles Production

0 komentar:

Posting Komentar